Dari
karya Mathematics and Language 2 di
atas, mengingatkan kembali tugas seorang guru sebagai fasilitator. Namun, jika
kita lihat dengan realita di lapangan sering terjadi fenomena di mana keegoisan
guru relatif tinggi. Siswa terlalu dituntut untuk menganggap bahwa matematika
itu indah. Apabila kita ibaratkan matematika merupakan sebuah makanan, guru
menyuruh siswa menyukai makanan tersebut, tanpa mengetahui bahan, sumber,
kebersihan, gizi, proses pembuatan, pengemasan, dan penyajiannya. Jika kegiatan
tersebut terus dilakukan, makanan tersebut justru menjadi tidak bermanfaat
bahkan dapat berbahaya bagi tubuh siswa. Dengan kata lain, proses pembelajaran
menjadi sia-sia. Karena rasa senang siswa terhadap suatu pelajaran tidak bisa
kita desain begitu saja, melainkan
tumbuh dari diri siswa itu sendiri.
Saya
setuju dengan pendapat di atas bahwa permasalahan matematika bersumber dari
orang dewasa (guru, dosen, orang tua) bukan dari anak (siswa). Maksudnya dalam
proses pembelajaran masih terdapat kekeliruan, yaitu pemikiran atau persepsi
guru masih bersifat tradisional. Perlakuan guru pun masih keliru dan cenderung
sombong, tidak adil, dan menjadikan siswa sebagai boneka pendidikan.
Karya
di atas banyak memberikan informasi dan pemahaman mengenai pembelajaran
inovatif, di mana guru harus cerdas dalam pembelajaran. Cerdas di sini
maksudnya guru memiliki keterampilan dan berperan sebagai jalannya
pembelajaran. Guru mengarahkan siswa untuk bereksplorasi, melakukan
investigasi, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Tak lupa, guru hendaknya
menerapkan hakikat matematika sesuai dengan artikel-artikel bapak Marsigit sebelumnya.
Dengan demikian, diharapkan minat belajar dan rasa cinta siswa terhadap
pelajaran matematika akan muncul dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar