• (Refleksi) Mathematics and Language 2

    http://powermathematics.blogspot.com/2013/03/mathematics-and-language-2.html


    Dari karya Mathematics and Language 2 di atas, mengingatkan kembali tugas seorang guru sebagai fasilitator. Namun, jika kita lihat dengan realita di lapangan sering terjadi fenomena di mana keegoisan guru relatif tinggi. Siswa terlalu dituntut untuk menganggap bahwa matematika itu indah. Apabila kita ibaratkan matematika merupakan sebuah makanan, guru menyuruh siswa menyukai makanan tersebut, tanpa mengetahui bahan, sumber, kebersihan, gizi, proses pembuatan, pengemasan, dan penyajiannya. Jika kegiatan tersebut terus dilakukan, makanan tersebut justru menjadi tidak bermanfaat bahkan dapat berbahaya bagi tubuh siswa. Dengan kata lain, proses pembelajaran menjadi sia-sia. Karena rasa senang siswa terhadap suatu pelajaran tidak bisa kita desain begitu saja, melainkan tumbuh dari diri siswa itu sendiri.
    Saya setuju dengan pendapat di atas bahwa permasalahan matematika bersumber dari orang dewasa (guru, dosen, orang tua) bukan dari anak (siswa). Maksudnya dalam proses pembelajaran masih terdapat kekeliruan, yaitu pemikiran atau persepsi guru masih bersifat tradisional. Perlakuan guru pun masih keliru dan cenderung sombong, tidak adil, dan menjadikan siswa sebagai boneka pendidikan.
    Karya di atas banyak memberikan informasi dan pemahaman mengenai pembelajaran inovatif, di mana guru harus cerdas dalam pembelajaran. Cerdas di sini maksudnya guru memiliki keterampilan dan berperan sebagai jalannya pembelajaran. Guru mengarahkan siswa untuk bereksplorasi, melakukan investigasi, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Tak lupa, guru hendaknya menerapkan hakikat matematika sesuai dengan artikel-artikel bapak Marsigit sebelumnya. Dengan demikian, diharapkan minat belajar dan rasa cinta siswa terhadap pelajaran matematika akan muncul dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar