Dari
elegi di atas, Architectonic Mathematics itu menjelaskan bahwa siswa merupakan arsitek
di mana mereka membangun bangunan matematika. Dalam membangun suatu bangunan
diperlukan rancangan atau gambaran bangunan yang akan dibentuk atau dibangun. Rancangan
tersebut otomatis dibuat oleh arsitek tersebut. Arsitek inilah yang menentukan
bagaimana bentuk, ukuran, warna, dan lain sebagainya.
Dalam
proses pembelajaran, hal ini dimaksudkan siswa berpikir atau membangun konsep
materi yang sedang dipelajari. Konsep inilah yang menjadi pondasi bangunan tersebut.
Setelah merencanakan, tentunya juga dibutuhkan alat dan bahan material lain,
seperti pasir, semen, kayu, gergaji, paku, palu, dan lain-lain. Alat yang
dimaksud dalam proses pembelajaran adalah media pembelajaran yang digunakan. Sedangkan
bahan material merupakan sumber belajar dan kurikulum. Selain alat dan bahan,
tentunya tak lupa membutuhkan peran tukang. Tukang di sini dipegang peranannya
oleh guru sebagai fasilitator dan pembangun, namun yang lebih dominan
peranannya tetap terdapat pada seorang arsitek itu sendiri (siswa). Dalam membangun
bangunan, tukang juga harus mempunyai teknik-teknik tertentu agar tercapai
kemudahan dalam membangun bangunan dan hasilnya memuaskan. Teknik ini merupakan
metode pembelajaran yang digunakan guru. Jadi, saya setuju dengan artikel di
atas bahwa sebenarnya siswa lah arsitek bagi dirinya sendiri dalam membangun
bangunan matematika dalam pikirannya.
Seperti
yang telah diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa agar matematika bisa menjadi ilmu
maka dia haruslah bersifat “sinteti a priori”. Maksudnya yaitu matematika
sebagai ilmu tersebut merupakan gabungan antara pikiran (logika) yang disebut a
priori dan pengalaman yang disebut a posteriori. Pikiran di sini bersifat
analitik, sedangkan pengalaman bersifat sintetik. Jadi, gabungan antara
keduanya itulah yang kemudian dinamakan sintetik a priori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar